By
Luxia
Hi JJ-ers,
Jumpa lagi disini… Apa kabar semua??
Besok long weekend nih.. meskipun harpitnasnya 2 hari, yaaa.. mana tau teman-teman ada yang memutuskan refreshing aja sejenak, meninggalkan kepenatan pekerjaan yang tak akan pernah ada habisnya. Sebagian rombongan akan mengikuti acara gathering KJJI ke IX di Lombok… nah bagi anggota KJJI yang belum dapat tempat… kemana nih?? Apakah ada yang berencana ke Baduy Dalam? Apa sih yang menarik di Baduy Dalam? Bagaimana rasanya tracking ke Baduy Dalam dan Apa yang menjadi Icon Baduy?? Kebetulan Kami (Saya, @Eka Wibisono dan @Maria Kuntarti) baru saja menaklukkannya… meskipun setelahnya rata2 pada encok dan berjalan dengan “bumi yang tak rata” alias tertatih-tatih selama kurang lebih 2-3 hari (hahaha… gaya bener ya bahasanya “menaklukan”). Saya mau berbagi cerita sedikit nih… Yuk mari kita simak perjalanannya.
Pagi yang cerah dihari sabtu tanggal 03 Oktober 2015 pukul 06.00 WIB kami ber-12 + 2 tour leader berkumpul di meeting point untuk bersama-sama berangkat menuju desa Ciboleger. Kebetulan kali ini paket yang kami pilih adalah paket yang sedikit berbeda, mengapa berbeda?? Karena bukan perjalanan backpacker yang kami pilih, mengingat rombongan kami dimulai dari usia 26 hingga 63 tahun… Bravo!! Dengan menumpang elf yang kami sewa berikut paket perjalanan 2 hari 1 malam ke Baduy Dalam, kami berangkat dengan menempuh perjalanan selama kurang lebih 5-6 jam dengan 1 kali berhenti di rest area selama 30 menit. Elf kami memilih jalur tol dalam kota, keluar di pintu tol Darmaga menuju ke arah Bogor (Gunung Salak) yang mana menurut supir elfnya, Pak Rudi (tapi bukan Rudi Hadi Sentosa lho yach… hahaha… Peace Rud), lewat jalur Bogor bisa menghemat waktu kurang lebih 3 jam dibandingkan lewat jalur Rangkas. Okay Pak. Kami manut aja dech, soalnya memang belum pernah tau “medan perangnya”.
Tepat pukul 12.00 WIB kami tiba di desa Ciboleger dengan disambut oleh porter-porter kami yang notabene berasal dari Baduy Dalam (berbaju putih dengan ikat kepala putih) dan ada 4-5 orang porter yang berasal dari Baduy Luar (termasuk 3 orang anak-anak berusia antara 8 – 12 tahun) (berbaju hitam dengan ikat kepala biru) yang akan menemani kami nanti. Total porter kami ada 13 orang (karena semula ada 13 peserta tetapi 1 batal) yang akhirnya 12 porter membawa tas kami dan 1 orang membawa keperluan lainnya seperti air mineral yg sudah kami persiapkan untuk mengantisipasi perjalanan nanti, dll.
Sambil menunggu menu makan siang yang sedang dipersiapkan, kami pun melihat-lihat sekitarnya dan mengobrol sedikit dengan porter-porter kami. Lihat punya lihat dan lirik punya lirik… eh ada seorang porter yang berseragam putih yang menarik perhatian kami, wajahnya berbeda dari yang lainnya… putih, bersih, hidungnya mancung… namanya Asmin. Kalau kita berandai-andai, Asmin ini mirip sekali dengan aktor dari Hongkong, tinggal didandani sedikit hehehe… banyak juga yang bilang mirip orang Jepang.
Kang Asmin sempat bercerita kepada kami bahwa suku baduy dilarang menggunakan kendaraan untuk berjalan kemanapun mereka pergi, makanya waktu mereka ke Bandung, mereka menempuh perjalanan selama 7 hari dengan berjalan kaki...(WOW) dan 2 hari ke BSD (Bumi Serpong Damai) dengan menginap dirumah teman-teman mereka. Semua tamu yang pernah mereka antar masuk ke desa Baduy Dalam mereka anggap teman sehingga tidak jarang mereka akan meminta alamat dan nomor HP kepada kita. Bahasa asli suku Baduy adalah Sunda kasar tetapi beberapa dari mereka sudah mulai bisa mengerti Bahasa Indonesia meskipun ada yang masih menjawabnya dengan terbata-bata bahkan belum bisa lancar menangkap dan mengerti Bahasa Indonesia yang diucapkan dengan kecepatan tinggi (ibarat mobil itu gigi 4 hehehe).
Setelah kami beristirahat dan makan siang selama kurang lebih 1 jam kami pun bersiap-siap untuk memulai perjalanan kami. Sambil menunggu tour leader kami (Mas Anto) melapor ke Kepala Desa, kamipun berfoto-foto ria… masing-masing peserta berfoto dengan porternya untuk kenang-kenangan, termasuk saya dengan porter saya yang usianya 12 tahun tetapi tubuhnya seperti anak yang berusia 8 tahun, namanya Asda. Bocah lucu yang super energik tetapi cuek (bebek aja kalah cuek) ini lah yang menjadi hiburan saya dan teman-teman selama perjalanan pergi dan pulang.
Baduy Dalam terbagi menjadi 3 Desa yaitu desa Cibeo, desa Cikartawana dan desa Cikeusik. Perjalanan kami kali ini adalah mengunjungi desa Cibeo, desa yang paling dekat dengan Baduy Luar. Desa Cibeo merupakan desa dari Baduy Dalam yang sudah sedikit terkontaminasi dengan dunia luar (stt… bahkan ada beberapa warganya yang sudah pake HP lho… caranya?? Nyolong2 dibawah meja pakainya…). Sebagian besar mata pencaharian warga Baduy baik Luar maupun Dalam adalah menenun dan berjualan gula aren. Kalau beras, mereka tidak menjualnya, di tanam hanya untuk dikonsumsi sendiri.
Perjalanan diperkirakan akan ditempuh dalam waktu 4 jam. Untuk dapat mencapai desa Cibeo, rombongan harus melewati sekitar 5-6 desa Baduy Luar yang diantaranya Desa Balimbing, Marangu, Gajeboh dan juga harus melewati Jembatan bambu yang oleh warga setempat disebut Jembatan Temayang serta Tanjakan Cinta. Mendengar namanya pasti terbersit kisah-kisah manis didalamnya sehingga bisa disebut “Tanjakan Cinta”…hehehe… ternyata tidak ada yang tahu silsilah sebutan itu. Oke lah kalo begitu… Let’s Get started.
Perjalanan dimulai dengan melewati perkampungan di luar Baduy (masih di wilayah Ciboleger) sampai dengan ada portal yang bertuliskan “SELAMAT DATANG DI BADUY”. Perjuangan dimulai. Semua wajah sumringah, ceria, perjalanan ini diisi dengan cerita dan senda gurau dari tiap-tiap peserta. Tamu-tamu yang notabene asli Indonesia diperbolehkan tracking hingga wilayah Baduy Dalam tetapi tidak demikian dengan tamu dari mancanegara. Mereka hanya boleh berjalan hingga Gajeboh saja atau maximum Jembatan Temayang saja. Tidak ada yang tahu alasan maupun cerita dibalik larangan tersebut. Mungkin porter kami kebanyakan anak-anak muda yang sebenarnya hanya mematuhi saja aturan dari kepala suku tanpa banyak bertanya mengenai sejarah-sejarah dan larangan-larangan yang diberlakukan selama ini kepada mereka atau memang dilarang untuk menjelaskan, Entah lah. Tidak ada yang bisa menjawabnya meskipun seniornya sekalipun yaitu Kang Naldi (yang telah banyak pengalaman menjemput dan mengantarkan tamu keluar masuk Baduy Dalam). Menurut Kang Naldi, saat ini jumlah keluarga yang ada di Baduy Dalam sekitar 140 keluarga saja, sisanya tinggal di Baduy Luar. Bukan karena adat yang membuat mereka keluar dari Baduy Dalam tetapi semua tergantung pilihan masing-masing orang. Contohnya Asda (porter saya), Ayah Asda, Kang Herman, yang merupakan penghubung porter dengan travel agent yang kami pakai jasanya saat itu, beliau baru 1 tahun keluar dari Baduy Dalam karena tidak tahan hidup terkukung dengan adat, sedangkan Asda masih tinggal bersama kakeknya di Baduy Dalam pada saat orang tuanya memutuskan tinggal di Baduy Luar. Sekitar 3 atau 4 bulan yang lalu Asda memutuskan ikut orang tuanya untuk tinggal di Baduy Luar. Alasannya simple banget, pindah ke luar karena tidak tahan dengan kakeknya, tiap kali minta uang jajan tidak dikasih… hahaha…. (lucu & polos banget). Semua warga Baduy Dalam taat pada seorang kepala suku yang mereka panggil PU-UN (jadi bukan seperti cerita orang-orang diluar sana bahwa orang Baduy Dalam menyembah Pohon… ngawur ya). Baduy Dalam pun ada periode puasanya tetapi beda dengan periode puasa Muslim.
Semua peserta tidak ada yang tahu seperti apa tracking yang selama ini disebut-sebut oleh tour leader sedikit berat. Tidak ada yang bisa membayangkan pula seberapa curam bukit-bukit serta tanjakan-tanjakan yang akan dilalui dan dihadapi oleh kami… sejauh ini kami browsing, foto-foto yang diperoleh hanyalah foto-foto perjalanan biasa dengan sedikit bonus perbukitan. Tidak ada sama sekali terbersit dibenak kami bahwa yang menurut warga Baduy perjalanan datar itu adalah seperti berjalan diperbukitan. Tidak ada juga yang menyangka bahwa perjalanan menaiki bukit sedikit itu ternyata ibarat kita menaiki pegunungan… dan tidak ada yang menduga bahwa perjalanan menanjak itu ibarat kita mengarungi pegunungan dengan kemiringan 45 derajat dan bertanah kuning serta berbatu-batu.
Untungnya saat kami berada di lokasi, keadaan sekitar sedang kering, cuaca tidak lembab dan sudah 4 bulan lamanya tidak turun hujan sama sekali sehingga tidak licin. Jadi kalau hendak mengunjungi Baduy Luar maupun Baduy Dalam amat sangat disarankan mengambil periode musin kemarau yaitu bulan Juni s/d September. Warga Baduy Dalam juga ada kalanya menutup pintu untuk tamu-tamu luar yang ingin berkunjung yaitu pada bulan Maret s/d Mei dikarenakan mereka sedang panen. Bentuk lahan sawah dan ladang orang Baduy cukup menakjubkan, mereka bercocok tanam bukan di tanah yang rata seperti kebanyakan sawah dan ladang yang kita temui didesa-desa pada umumnya. Mereka menanam padi dan lainnya di lahan tanjakan yang kemiringannya sekitar 70 s/d 80 derajat , sehingga pada waktu ada yang bertanya koq gak terlihat kerbau diladang? Jawabannya: ya gak bisa lah yah… Satu-satunya hewan yang sering dan berkeliaran di Baduy Dalam hanya lah Ayam. Anjing ada yang pelihara tetapi tidak banyak dan mungkin keberadaannya di tengah-tengah desa, soalnya kita tidak melihatnya selama perjalanan hingga Baduy Dalam.
Sepanjang perjalanan selama kurang lebih 1 jam ditempuh, semua baik-baik saja dan masih enjoy-enjoy saja, terlebih ketika melewati jembatan pertama… beberapa tamu dari rombongan lain bertanya dengan heran, apa benar bahwa kita hendak menuju Baduy Dalam? Jauh lho.. Masih jauh sekali lho.. apalagi ketika mereka melihat rombongan kami ada orang tuanya. Rata-rata rombongan yang kami temui hanya duduk-duduk di jembatan pertama saja, foto-foto, paling jauh mereka menempuh perjalanan sampai di Gajeboh (sekitar 25% dari total perjalanan menuju desa Cibeo), setelah puas akan memutuskan untuk kembali saja ke Ciboleger. Saya jadi berpikir, usia mereka masih pada muda-muda, tapi koq gampang sekali menyerah??
Menyusuri jalan setapak demi setapak… kampung demi kampung… stamina kamipun mulai sedikit demi sedikit menurun. O iya, jangan lupa berbekal diri dengan tongkat kayu yang kokoh yach, karena itu sangat membantu memperingan langkah kaki. Rasa lelah, nafas tersengal-sengal, wajah lelah, perasaan galau bercampur aduk, karena sudah 4 jam perjalanan tetapi belum juga kami jumpai yang namanya Jembatan Temayang. 5 desa sudah dilewati, beristirahat di desa-desa dan diperkampungan. Turun naik perbukitan dan tanjakan kurang lebih 10 an kali.. Mantap bener… Sambil terseok-seok kaki melangkah, tibalah di jembatan bambu yang disebut Jembatan Temayang yang kalau menurut saya itu merupakan jembatan terpanjang dan terkokoh selama perjalanan dari luar Baduy karena alas tempat kita berpijak itu terbuat dari batang bambu yang tersusun 2 lapis sehingga benar-benar kokoh dan panjangnya ada sekitar 10-15 meteran. Jika kita sudah melewati Jembatan Temayang, artinya kita sudah mulai meninggalkan kawasan Baduy Luar dan memasuki area Baduy Dalam.
Nah tiba lah saatnya kita menyiapkan fisik untuk menghadapi medan terberat di hari pertama ini yaitu Tanjakan Cinta… Sungguh-sungguh luar biasa… panjangnya 500 meter dengan kemiringan 45 derajat, benar-benar butuh kesabaran, kekuatan kaki dan jantung, sepatu gunung yang masih bagus banget serta penuh doa agar jangan sampai tergelincir dan terkilir. Benar-benar harus dijaga lho staminanya disini. Dan 1 lagi prinsip yang selalu dikumandangkan oleh Kang Naldi… “Ayo… sedikit lagi… jalan 10 menit lagi medannya datar koq…” hah.. jangan percaya… datarnya hanya 5-10 langkah doank sisanya naik terussss…. Tetapi Tanjakan Cinta memang merupakan tanjakan tertinggi terakhir untuk tiba di desa Cibeo. Sisanya hanya tanjakan-tanjakan kecil saja meskipun kemiringannya tetap terjaga di “skala” 60-70 derajat…
Karena medan perang yang begitu beratnya, rombongan kamipun terpisah menjadi 4 regu. Setelah Tanjakan Cinta kita akan melewati 4-5 jembatan kecil untuk tiba di desa Cibeo. Regu pertama tiba pada pukul 17.15 WIB, kemudian disusul regu kedua tiba pada pukul 17.30 WIB, regu ketiga 18.00 WIB dan yang terakhir pada pukul 22.15 WIB.
Tiba di rumah salah satu porter kami yang memang disewa untuk kami beristirahat mengumpulkan tenaga buat tracking esok harinya, kami pun disambut dengan makanan khas suku Baduy. Rumah yang terbuat dari bahan bambu beratapkan daun ijuk atau daun kelapa kering, tanpa jendela dan hanya terdiri dari 1 ruangan untuk tidur sekaligus ruang tamu dan 1 dapur, simple dan sederhana sekali. Setelah bebersih diri ala kadarnya karena memang keadaan sungai sedang kering. Sebagian dari kami sudah mulai “berlayar ke Pulau Kapuk” alias tidur sedangkan ada beberapa yang masih ngobrol-ngobrol juga. Menjelang malam udara sudah tidak begitu gerah, semakin malam, menjelang pukul 01.00 malam, udara semakin dingin, perkiraan kita sekitar 10-14 derajat lah. So amat sangat disarankan membawa celana panjang, jaket dan kain selimut bahkan bila perlu kaos kaki dan sarung tangan untuk tidur. O iya, bagi yang tidak bisa tidur dalam keadaan terang, bisa membawa eye mask juga ya, karena kita tidur ditemani oleh obor yg bahan bakarnya dari minyak sayur. Sayang keadaan sekitarnya tidak bisa didokumentasikan karena memang terlarang, bukan dilarang lho ya… semua terserah kita, kalau nekad silahkan ambil foto, kalau gak ya jangan. Hukuman sesungguhnya sebenarnya bukan dari kepala suku atau penduduk local tetapi lebih tepatnya akan dihukum oleh alam, tahayul sih sebenarnya, tapi ya balik lagi, percaya atau tidak, kalau nekad ambil foto di Baduy Dalam akan menanggung akibatnya sendiri. So Not Recommended lah ya.
Esok harinya pukul 05.30 WIB sebagian rombongan sudah ada yang bangun dan ke sungai, ada yang sekedar berkeliling-keliling daerah sekitarnya sambil menghirup udara pagi yang masih benar-benar fresh dan lembab karena dingin. Menjelang jam 06.30 WIB kami kedatangan “tamu-tamu” yang membawa dagangannya berupa kain tenun, baju khas Baduy, pernak-pernik, souvenir seperti gantungan kunci, dll. Mungkin memang sudah menjadi kebiasaan warga disana menjajakan barang dagangannya di pagi hari karena “para peserta tracking” tidak akan stay lama di desa mereka mengingat jauhnya perjalanan yang masih harus ditempuh sehingga rata-rata rombongan akan berangkat meninggalkan desa mereka sekitar pukul 08.00 WIB dan paling telat pukul 10.00 WIB. Sambil menantikan sarapan pagi, berbelanja dirumah, kita juga bisa memesan madu asli Baduy Dalam yang katanya enak itu dan Gula Aren.
Tepat pukul 08.00 WIB rombongan kami mulai bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan, tidak lupa tongkat tetap dibawa ya karena medan yang akan ditempuhpun tidak kalah mengerikan karena kita akan melewati lereng bukit dan tanjakan dan banyak naik turunnya juga, sedikit licin karena bertanah kuning dan berbatu-batu. Jalur yang ditempuh untuk dapat kembali ke desa Ciboleger ada 2 yaitu lewat desa Cijahe dan Jembatan Akar (Icon Baduy Dalam). 2 peserta tracking yang sudah menyerah dengan ditemani oleh 2 porter dan 1 Tour Leader akhirnya memilih menggunakan jalur desa Cijahe, perjalanannya lebih manusiawi, trackingnya lebih landai, perjalanan santai cukup dengan 2-3 jam saja, melewati perbukitan kecil-kecil saja lalu dijemput elf dan diantar ke Ciboleger untuk bergabung dengan rombongan yang melalui jalur Jembatan Akar. Sisanya 10 orang penasaran seberapa jauh dan beratkah perjuangan untuk mencapai Iconnya Baduy itu.
Kamipun berjalan santai karena masih pagi, dan masih segar meskipun kaki sedikit pegal linu akibat perjuangan kemarin, sambil bercengkerama, bercerita pengalaman semalam tidur di “bilik”, dingin, sunyi dan lain sebagainya. Lewat 1 jam perjalanan, masih santai, hanya naik turun bukit sedikit, itu pun penuh rumput masih belum terbayang nih. Menjelang 1,5 jam, sedikit demi sedikit perjalanan mulai sulit, karena turunannya lebih terjal dibandingkan kemarin dan kebanyakan tanah kuning dan batu kecil-kecil saja. Saya sih lebih memilih jongkok dulu sebelum turun ketimbang nyungsep di tanah nantinya… huff.. beratnya tidak kalah dengan kemarin malah terasa lebih berat karena turunannya cukup curam, ada yang 45 derajat malahan.
Berjalan sekitar 2 jam akhirnya kita sampai juga pada tanjakan dan turunan berbatu dan bertanah merah lagi dengan jalur “Z” di beberapa titik, telaah punya telaah ternyata itu perjalanan turun sekaligus perjalanan menuju Jembatan Akar, Salah satu Icon yang cukup terkenal di kalangan masyarakat Baduy karena keunikannya. Apa yang menyebabkan Jembatan ini begitu unik dan dicari oleh tamu-tamu dari luar Baduy meskipun untuk mencapai kesana perjalanannya cukup sulit dan penuh perjuangan serta menguras tenaga ini?
Jembatan Akar, diberi nama tersebut karena memang jembatan ini terbuat dan terbentuk dengan sendirinya dari akar pohon yang menjulur memanjang dan membentuk anyaman-anyaman sehingga memperkokoh jembatan tersebut. Untuk alas berpijak, ada beberapa batang bambu yang tersusun memanjang dibawah agar kaki yang menginjak jembatan tidak terselip di lubang-lubang “anyaman”. Jembatan akar terbentuk secara alami 10 meter diatas sungai dengan panjang 25 meter ke seberang dan semuanya murni terbentuk dari akar 2 batang pohon yang berseberangan.
Setibanya di Jembatan Akar semua lega… ada 2 diantara kami yang langsung nyemplung di sungai dibawah jembatan akar yang airnya cukup banyak dan mengalir, secara, dari pagi tidak bisa mandi dan gosok gigi dengan benar. 8 orang sisanya mulai mengeksplore Jembatan Akar untuk berfoto-foto dan bahkan ada yang menyeberang Jembatan tersebut untuk berfoto ria di seberang yang kategorinya mirip hutan dan sedikit rimbun, adem, ada yang hanya berbasuh diri saja karena debu yang menempel di lengan dan kaki.
Setelah puas mandi, berbasuh diri dan foto-foto, perjalanan dilanjutkan lagi. Tadinya semua orang berpikir akan menyeberangi Jembatan Akar untuk perjalanan kembali ke desa Ciboleger, eh ternyata salah, kami harus berbalik arah dan mengambil jalur disebelah tebing dan menyusuri jalan tanah kuning berbatuan kecil yang lumayan licin meskipun tidak basah sama sekali karena kemiringannya yang cukup curam.
Berjalan menyusuri tebing dan perbukitan dan lereng bukit kurang lebih 3 jam sampailah kita di desa Cilanggir, di desa Cilanggir ini jalanan sudah sedikit membaik, jalanan berbatuan yang tersusun rapi, sudah tidak ada lagi yang namanya rumput di jalan setapak, tidak ada lagi tanah kuning yang licin tetapi tanjakannya masih sama malahan jaraknya kurang lebih 300 meter dengan kemiringan 50 derajat.
Nah, sampai disini ada 2 orang dari rombongan kami yang sudah menyerah dan memilih sewa ojek saja ke Ciboleger daripada pingsan dijalan dan di tandu. Ongkos dari desa Cilanggir ke Ciboleger kurang lebih Rp 20.000,- s/d Rp 30.000,-. Beberapa ojek yang dikendarai oleh anak muda bahkan sempat hampir tergelincir motornya karena memilih jalur motor yang tidak berbatuan tetapi berpasir putih kasar dan letaknya disamping lereng. Serem juga sih meskipun naik ojek.
Tersisa 8 orang peserta + 1 tour leader yang ditemani oleh 10 orang porter (termasuk 3 orang bocah) yang masih meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki. Tak terbayangkan lelahnya mendaki jalan bebatuan tersebut, untuk mengangkatkan kaki saja rasanya sudah ogah-ogahan. Rasanya kalau diukur, tenaga kami hanya tersisa 25% saja. Tiba lah kami di sebuah warung yang cukup besar (toko terbesar yang pernah kami jumpai disepanjang perjalanan ke Baduy), sambil memutuskan untuk minta elf menjemput kami di warung itu saja, sudah tak sanggup lagi rasanya tuk berjalan. Padahal untuk mencapai desa Ciboleger, masih ada 2 km lagi. Tunggu punya tunggu, elf kami tak kunjung tiba karena masih blm turun dari Cijahe.
Akhirnya setelah menanti sekitar 30 menit dan waktu sudah menunjukkan pukul 12.00 WIB, atas saran Tour Leader kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki saja agar bisa tiba di desa Ciboleger dengan segera mengingat waktu makan siang sudah pasti terlewatkan. Yuk.. jalan lagi… Jalan… jalan… jalan… sekitar 500 meter mulai lah memasuki daerah beraspal dan disebelah kiri kanan terhampar sawah nan hijau, senangnyaaa… pertanda desa Ciboleger semakin dekat. Bagi kami orang kota yang terbiasa berjalan di jalan datar beraspal adalah suatu hal mudah meskipun jauhnya 2 km, tetapi bagi orang Baduy itu sangat menyiksa apalagi ditengah terik matahari dan mereka juga berjalan tanpa mengenakan alas kaki, tentunya terasa panas, lelah dan menjengkelkan (itu pengakuan salah satu porter kami). "Rasanya gak sampai-sampai ke tujuan Bu, Capek. Tapi kalau berjalan menanjak dan di tengah hutan itu rasanya adem dan tenaga kita seperti dipacu dan makin menanjak semangat kami makin bertambah ". Nah lho...??? Yaaa... mau gimana lagi ya??
Selagi berjalan saya memperhatikan bukit di sebelah kiri kami dan melihat di atas bukit tersebut samar-samar terlihat rumah-rumah penduduk di atas bukit tersebut, kemudian saya bertanya ke salah satu Porter kami, "itu Baduy Dalam ya?" dan si Akang menjawab "bukan bu, itu baru Baduy Luar..." Seperti tak percaya saya tanyakan lagi sama Asda dan jawabannyapun sama, "Itu Baduy Luar" Astagaaa... Sampai terpana saya mendengarnya, ternyata dari kemarin kita sudah menaiki perbukitan setinggi itu dan bahkan Baduy Dalam lebih tinggi lagi letaknya. Amazing!!!
Sampai sekitar 1,5km, jalanan mulai menanjak lagi, tapi kali ini adalah tanjakan terakhir yang panjangnya sekitar 300 meteran dengan tingkat kemiringan 50-55 derajat lah kira-kira. Ketika kami menjumpai bangunan sederhana berwarna hijau, dan berbentuk masjid, hati pun senang karena desa Ciboleger sudah didepan mata. Beberapa yang telah tiba dilokasi terlebih dahulu langsung menuju rumah dibelakang warung tempat kami makan siang, kemudian rebahan diteras rumah melepas lelah dan kemudian bersiap-siap mandi dan berangkat pulang ke Jakarta. Sebelum masuk elf, Kang Asmin memberikan ke salah satu anggota kita gula aren untuk oleh-oleh. Makasih Kang Asmin. (^_^)
Berakhirlah sudah Perjuangan kami… Sedih, senang, susah telah kami lalui semuanya. Semuanya terasa indah selama perjalanan, pengalaman yang tak kan pernah terlupakan, Patut diacungi jempol kepada Bapak-Bapak yang usianya sudah lebih dari 50 tahun, tetap bersemangat meskipun sudah letih sekali. Semua rasa letih dan penasaran terbayar sudah. Terima kasih kami ucapkan tuk porter-porter kami khususnya Kang Naldi, Kang Asmin, Kang Ajun, Asda dan 9 porter lainnya yang tak sempat aku kenal. Keramahan, kesabaran dan semangat kalianlah yang menyemangati kami.
Sedikit informasi penting untuk perjalanan ke Baduy Dalam:
- - Jangan mengambil foto, dilarang menggunakan sabun, detergen, pasta gigi dan lainnya yang mengandung bahan-bahan kimia yang bisa merusak alam.
- - Dilarang membuang sampah sembarangan, karena warga suku Baduy amat mencintai kebersihan dan keasrian alam. Jadi bawalah kantong sampah sendiri dari jakarta.
- - Jangan lupa bawa senter (karena jarang ada yang menjual senter diBaduy), tuk kebutuhan di jalan andaikan kemalaman dan apabila hendak ke Sungai di malam hari & air minum secukupnya saja, karena disetiap kampung atau desa pasti ada warung kecil yang menjual air mineral dan harganya Rp 3.000,- s/d Rp 5 000,- saja 1 botol yang ukurannya 600 ml.
- - Bagi yang tak terpisahkan dari HP silahkan, ternyata signal dari beberapa provider bisa menjangkau sampai ke Baduy Dalam, tapi pakai HP nya hati-hati ya, jangan sampai kepergok sesepuh Baduy Dalam.
- - Harga indomie semangkok Rp 5.000, kopi secangkir Rp 3.000,-
- - Harga baju khas Baduy berkisar dari Rp 90.000 s/d 200.000,- (bahannya tebal dan bagus), celana pangsi (7/8) Rp 90.000,- selendang panjang kurang lebih 1.75 meter Rp 100.000,- kain 2x2 meter Rp 200.000 s/d 250.000,- semua asli tenunan penduduk local.
- - Harga Madu botol kecil Rp 50.000,- botol besar Rp 100.000,-